A. Biografi Bintu Asy Syathi’
Nama asli Bintu asy Syathi’ adalah Prof. Dr. ‘Aisyah Abdurrahman. Nama Bintu asy Syathi’ merupakan nama yang dia pakai saat menulis karena dilahirkan dan dibesarkan di tepian sungai Nil. Bintu asy Syathi’ memiliki arti anak perempuan pinggir (sungai). Dilahirkan di Dumyat sebelah barat delta sungai Nil ditengah keluarga muslim yang taat dan shaleh. Menyelesaikan seluruh jenjang pendidikannya di Universitas Fuad I Kairo sehingga memperoleh gelar guru besar studi tafsir dan sastra al-Qur’an. Tahun 1970 memperoleh gelar Profesor di Universitas Ain Syams Mesir, menjadi professor tamu pada Universitas Umm Durman Sudan, Universitas Qarawiyyin Maroko.
Karyanya-karyanya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu A’la al-Ma’ari, Al-Khansa, Biografi Ibunda Nabi saw, istri-istri, anak-anak perempuannya, serta cucu dan buyut perempuannya. Sedangkan karyanya dalam bidang tafsir adalah Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-KarimVolume I (1962) dan Volume kedua (1969). Namun seperti diakuinya hampir secara keseluruhan metode dalam menafsirkan al-Qur’an yang digunakan oleh Bintusy-Syathi’ adalah metode yang diperoleh dari guru besarnya dan kemudian belakangan menjadi suaminya Amin al-Khuli (wafat tahun 1966). Sedangkan ‘A’isyah Abdurrahman wafat Desember 1998.
B. Tafsir Surat Asy-Syarh
Surat asy
Syarh adalah surat al Qur’an yang tergolong pada kelompok surat Makkiyyah
yang diturunkan sesudah surat ad Dhuha.
Sekelompok ulama menyatakan bahwa kedua surat ini merupakan satu surah karena
munasabah dalam menghitung-hitung nikmat pada kedua surat tersebut. Namun, an
Naisaburi menolak pendapat tersebut, karena menurutnya al Qur’an secara
keseluruhan adalah kalam yang satu, namun terdapat perbedaan dalam kedua surat
ini yang mana pertanyaan pada surat ad
Dhuha adalah bentuk orang ketiga (ghaib)
sedangkan dalam surat asy syarh dalam bentuk orang pertama (mutakallim).
Berbeda dengan at Thabari, al Zamakhsyari dan al Qurthubi tidak begitu
mempermasalahkannya.
Mengenai kelompok surah asy Syarh, Muhammad
Abduh menyatakan bahwa surat ini termasuk makkiyyah menurut jumhur. Sedangkan
al Biqa’i mengatakan surat ini madaniyyah.
Penafsiran asy syarh
Sebagian besar mufassir menyatakan bahwa asy Syarhadalah kelapangan, kelebaran
dan keluasan. At Thabari az Zamakhsyari
dan Muhammad Abduh cenderung menafsirkan as
Syarh sebagai pelapangan dada.Dalam hal ini an Naisaburi menyatakan
pelapangan dada ini bersifat hakiki bukan majazi.
Penafsiran shadr
Kalimat Shadr
disini ditafsirkan sebagai dada yang
merupakan anggota badan manusia oleh an Naisaburi, namun ar Raghib
menyatakannnya sebagai kekuatan syahwat, hawa nafsu dan amarah.
Dalam al Qur’an ayat-ayat yang menyebutkan
kalimat as Shadr tidak ada yang cenderung pada pembelahan dada secara
fisik. Ayat-ayat tentang Shudur berada
dalam konteks keimanan, petunjuk, nur Allah dan kesembuhan (kelegaan) atau
kesempitan, kesesakan, kesulitan,kebinasaan, kesesatandan dendam.
Penafsiran Istifham (أ)
Kalimat istifham tersebut adalah menanyakan
ketiadaan pelapangan dada dengan cara ingkar, sehingga memperkuat pernyataan
“pelapangan” tersebut, demikian az Zamakhsyari menyatakan tafsirnya. Abu Hayyan
membantah pendapat az Zamakhsyari tersebut, yang menyatakan bahwa apabila dalam
ayat tersebut ada kalimat tanya, maka kalimat tanya tersebut harus dalam bentuk
taqrir (penegasan). Sehingga kita
akan mendapatkan terjemah sebagai berikut : “Bukankah kami telah melapangkan
bagimu (Muhammad) dadamu”
Penafsiran nun mudhaharah
Nun mudhaharah pada kalimat ‘nasyrah’ yang seharusnya diredaksikan dengan alif yang merujuk kepada Allah, hal ini berfungsi untuk
menyampaikan/menunjukkan pentingnya keadaan pelapangan dada, atau untuk
menyampaikan pemberitahuan dengan perantar
malaikat Jibril dalam hal ini. Dengan kata lain bisa juga disebut
sebagai dhamir li ta’dzhimin nafs, dhamir
untuk mengagungkan Dzat Allah SWT.
Penafsiran laka
Penambahan kalimat laka pada ayat satu dan tiga, begitu juga dengan kalimat anka dalam ayat dua, merupakan tambahan yang melengkapi makna, dimana fungsi penambahan ini adalah untuk
menjelaskan sesuatu yang sebelumnya kabur. Takwil seperti ini bertujuan untuk
merenungkan kalimat nasyrah dan rafa’na, yang kemudian diikuti oleh
kalimat laka, dan kalimat wadha’na
yang diikuti oleh kalimat anka untuk
menjelaskan kekaburan.
Sedangkan an-Naisaburi menafsirkan laka sebagai iqham (implikasi) terhadap apa yang dimiliki lafal ini dalam
membicarakan al Qur’an al Kariim. Fungsi iqham
sendiri adalah untuk memberi
pengertian umum yang disusul dengan rincian, serta mengemukakan hal yang khusus
atau yang lebih penting.
Syeikh Muhammad Abduh menyatakan bahwa
dikemukakannya jar majrur (anka-laka) dan didahulukannya atas maf’ul
didalamketiga ayat tersebut adalah untuk menambah penekanan dan mempercepat
penyampaian kabar gembira bukan merupakan muqhamah atau zaidah karena
ini adalah keharusan bayan yang dituntut keadaan, seperti dalam surat
Thaha(20):25-26 dan QS. Ali Imran(3):194.
Dan Kami telah menghilangkan daripadamu
bebanmu, yang
memberatkan punggungmu?
Penafsiran Wadh’
Lafadz Wadh’a mempunyai arti meletakkan, melemparkan, melontarkan,
menjatuhkan dan dipakai untuk sesuatu hal yang memberatkan dan menyusahkan. Al-wadh’ digunakan untuk arti
wiladah(melahirkan) dan mengandung. Al-zamakhsyari menjadikannya sebagai bentuk majazi bagi wadh’ di dalam asas al-balaghah. Seperti dalam
al-Qur’an surat Ali Imran (3): 36, suratAl-Ahqaf
(46): 15, surat At-Talaq (65): 4, dan surat At-Talaq (65) : 6.
Wadh’ juga
disebutkan yang dirangkaikan dengan kata harb
(peperangan), seperti dalam al Qur’an, suratMuhammad(47): 4, surat An-Nisa’ (4): 102
dan surat Al-A’rof (7): 157.
Penafsiran Wizr
Dalam surat asy-Syarh, wadh’ juga dikaitkan dengan kata wizr, yang menjelaskan bahwa dalam kata
wadh’ selalu tampak peringanan dari beban yang berat dan kandungan yang
menyusahkan. Asal makna wizr adalah
jabal(gunung), tempat berlindung, seperti firman Allah yang artinya : Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat
berlindung. Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembal ( QS.
Al-Qiyamah(75) : 11-12).
Wazir adalah muwazir (orang yang membantu), sebab dia
memikul beban. Misalnya dalam surah Thaha : 29, al-Furqan : 35, tentang Harun
sebagai pembanttu bagi Musa a.s.
Sedang pengertian maknawi dari wizr adalah dosa, jamaknya auzar. Misalnya dalam surat Al-An’am :
31dan 164, Fathir : 18, Az-Zumar : 7 dan Thaha : 100.
Wadha’a li
al-wizr dalam ayat Asy-Syarh memperkuat pengertiannya sebagai
beban yang berat, sebagaimanan ditegaskan oleh ayayt sesudahnya: Alladzi Anqadha Zhahrak.
Penafsiran Anqadha
Inqadh dalam
kebahasaan dan Qurani berarti lepas, cerai berai, terkoyak-koyakdi bawah tekanan
yang berat dan penderitaan.
Dalam
hal ini Abu Hayyan menyebutkan pendapat ahli bahasa : Anqadha al-himlu zhahran naqah, digunakan apabila mendengar
ringkikan unta karena beban yang berat.
Syaikh
Muhammad Abduh berpendapat, Naqidh
al-zhahr adalah suara yang terjadi karena beratnya beban pada panggung.
Pendapat ini berdekatan dengan pendekatan Al-Zamakhsari yang mengatakan, Ia
adalah suara berderak dan pecah karena beratnya beban.
Al-raghib
menolak jika yang berderak itu suara, menurunya, pada hakikatnya yang berderak
itu bukan suara, tetapi sesuatu yang menimbulkan suara, yakni yang berada di
bawah tekanan dan penderitaan.
Bintu
Syathi’ cenderung mengartkan inqadh
dengan intiqadh (pelepasan) dari
beban yang menimpa punggung. Maka ditetapkanlah artinya dengan beban berat yang
menindih punggung. Dinukil dari Qatadah bahwa, Nabi Muhammad mempunyai
dosa-dosa yang membebani beliau. Aku mendengar Adh-Dhahhak menjelaskan tentang
ayat : Wa wadha’na anka wizrak, yang dimaksudkan adalah kemusyrikan yang
ada pada beliau.
Syaikh
Muhammad Abduh menegaskan bahwa kalimat tersebut hanyalah metafora. Sebab jika
yang dimaksud dengan beban di situ adalah memikirkan urusan kaum yang beliau
pikul dan keprihatinan beliau sebelum berlangsungnya wahyu yang memberi
petunjuk, maka yang demikian bukanlah beban fisik yang membebani punggung. Akan
tetapi ia adalah kesedihan jiwa jiwa yang diungkapkan dengan beban yang
memberati punggung.
Dan Kami tinggikan bagimu
sebutan (nama)mu.
Raf’ (رفع) menurut
bahasa adalah meninggikan, yang mengandung pengertian fisik dan indrawi,
seperti bangunan dan pondasi. Contohnya
ada dalam QS. Al Baqarah(2):127. Kalimat ini juga bisa bersifat maknawi atau
majazi, seperti tingginya derajat.[QS. An Najm(53):32.
At Thabari, Ibnu abu Hayyan dan az
Zamakhsyari menafsirkannya bahwa Rasul disebutkan bersamaan dengan penyebutan
nama Allah SWT seperti dalam Syahadat, Adzan, qomat, tasyahud dan khotbah..
Syeikh Muhammad Abduh menafsirkan sebagai
berikut: Allah telah menunjuki beliau untuk menyelamatkan banyak umat dari
perbudakan wahm dan kerusakan pikiran, serta mengembalikan mereka kepadafitrah
yang selamat.
Cukup bagi kita untuk memahami ayat keempat
ini, mengikuti petunjuk yang kitta lihatdari seringnya perangkaian zikr dalam al-Qur’an dengan Allah yang
Maha Agung dan digunakan sebagai nama al-Qur’an al- karim.
“Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu da kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan
itu ada kemudahan.”
Penjelasan ayat :
Huruf fa’ pada ayat ke
lima dari surat Al-Insyiraah memiliki makna sebab-akibat yaitu menetapkan apa yang akan terjadi dan
dari hubungan sebab-akibat itu dikukuhkan dengan inna dan diperkuat lagi dengan
pengulangan kalimat itu sebanyak dua kali.
Hikmah dari pengulangan ayat tersebut ialah
untuk menumbuhkan ketenteraman jiwa nabi Muhammmad saw menyangkut masa datang
dan misi beliau.
Penggunaan ma’a dalam kedua ayat tersebut terdapat
beberapa pendapat dari para ulama’. Diantara para mufassir berpendapat bahwa
penggunaan ma’a ( arti sesungguhnya :bersama,beserta ) dalam kedua ayat
tersebut sebagai ganti dari ba’da (sesudah,setelah) yang menunjukkan perbedaan
waktu. Sedangkan Al-Zamakhsyari mengatakan bahwa kata ma’a adalah untuk shuhbah
( kebersamaan dalam berkawan ). Dan maknanya adalah kebersamaan menyertai
kesulitan. Jadi,rangkaian ini memiliki fungsi sebagai hiburan dan menguatkan
hati.
Selain tertarik terhadap penggunaan huruf fa’
dan ma’a , para ulama’ tafsir juga tertarik terhadap dengan pengertian
“kesulitan dan kemudahan” didalam kedua ayat tersebut. Mereka meriwayatkan
sebuah hadits Nabi saw yang artinya “sebuah kesulitan tidak akan mengalahkan
dua kemudahan”.
Al farra’ dan Az Zujaj menafsirkan al-‘usr
(kesulitan) disebutkan dengan alif dan lam , sedangkan disitu tidak terdapat
perjanjian terlebih dahulu,sehingga berpalinglah ia kepada hakikat. Maka yang
dimaksudkan dengan al-‘usr dikedua tempat tersebut adalah barang yang
satu. Adapun yusr (kemudahan) disebutkan secara tunggal,sehingga yang
pertama bukanlah yang kedua. Al Naisaburi berpendapat bahwa apabila yang
dimaksudkan dengan al-‘usr adalah jenis,bukan al-‘ahd
(perjanjian) maka al’usr didalam kedua bentuk itu sama. Sedangkan al
yusr disamarkan jika dibawa kepada pembicaraan kedua sebagai pengulangan.
Pendapat yang kuat bahwa al dalam al-‘usr
adalah untuk ‘ahd (perjanjian),bukan sekedar penghamburan ungkapan.
Sedangkan penunggalan lafal yusr (kemudahan) agar didalamnya terdapat
medan konsepsi dan kebebasan sehingga ada gambaran yang luas.
Dalam konteks ayat ini,lafal ‘usr
memiliki arti dalam kesempitan yang yang sangat. Hal itu telah banyak
dicontohkan dan dijelaskan dalam al-Qur’an,semisal :
a) Diartikan dengan penderitaan
orang-orang kafir pada hari pembalasan,contoh:
# apabila ditiup sangkakala,maka
waktu itu adalah waktu(datangnya) hari yang sulit.[(QS.Al-muddatstsir(74):89) ]
# dan adalah (hari itu) satu hari
yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir . [(QS.Al-Furqan(25):26)]
b) Diartikan dengan didalam kesulitan
orang yang berhutang ketika ditagih hutangnya sedangkan dia tidak mempunyai
harta. Contoh:
Dan jika (orang yang berhutang
itu) dalam kesulitan, maka belilah tangguh sampai dia berkelapangan
[(QS.Al-Baqarah(2):280)].
Para ahli bahasa dan mufassir
menafsirkan al-‘usr sebagai lawan dari al-yusr, al mu’assaraah
sebagai lawan al muyassarah, al ma’sur sebagai lawan al maisur , dan al
‘usra sebagai lawan al yusra.
Kesimpulan : al ‘usr memiliki
makna kesengsaraan, kesempitan dan kesulitan.AlYusrmemiliki makna
kesenangan,kemudahan dan kelapangan secara mutlak.
Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.
Kata Idza adalah zharaf
(keterangan waktu) untuk masa yang akan datang. Dan fa’ disini (dalam
ungkapan faidza ataupun fanshab) selain mengandung aspek sebab
akibat , juga mengandung ketertiban yang dating berurutan.
Kata Al-faragh
dalam ayat ke 7 ini secara bahasa artinya adalah “kosong” dan ia bersifat
sensual dan materi, seperti faragha al ina’ artinya ‘wadah itu kosong
setelah penuh’. Selain itu al faragh juga berkaitan dengan sebab yang
mendahuluinya di ayat sebelumnya seperti ‘kelapangan dada’, ‘pelepasan beban’ dan
‘pengangkatan sebutan’.
Sedangkan kata Al-Nashb menunjukkan
makna kesungguhan atau kerja keras dan menegakkan atau menampakkan serta
kelelahan. Namun yang menjadi inti makna disini adalah kelelahan dan
menegakkan. Pada penafsiran kata ini beberapa mufassir memiliki pandangan yang
berbeda-beda seperti Al-Raghib yang lebih cenderung untuk menafsirkan al-nashb
berasal dari kata al-nashib yakni bagian yang ditentukan dan
nyata. Sedangkan Al-Naisaburi dan Syaikh Muhammad ‘Abduh menafsirkan kata
tersebut dengan kelelahan. Dalam hal ini kita (Bintu Syathi’) tidak menyalahkan
baik makna kesungguhan maupun kelelahan.
Sudah barang tentu kita harus menghubungkan fa
idza faraghta fanshab dengan konteks ayat-ayat sebelumnya, karena fa
telah mempertautkan ayat tersebut dengan yang sebelumnya. Ayat tersebut
didahului pengukuhan yang meyakinkan, bahwa kesulitan pasti disertai dengan
kemudahan, dan Allah pasti memenuhi janji-Nya. Demikian ini, akan disudahi
dengan apa yang menyudahinya berupa kekosongan hati dari kebingunga,
kesempitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Semua itu karena Allah telah
menurunkan karunia kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW), berupa kelapangan dada
dan keringanan beban yang memberati punggungnya, dan meninggikan baginya
sebutan namanya. Dan oleh karena itu, hendaklah Rasul beribadah kepada Tuhan,
sujud, dan bersyukur kepada-Nya, karena telah melimpahkan banyak karunia
kepadanya, termasuk ‘kemudahan’, ketenangan dan kenyamanan di hati.
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya
kamu berharap.
Kata al-Raghbu adalah kecenderungan
dan keinginan. Misalnya, raghibta fisyai’ engkau menginginkan sesuatu’.
Dengan mendahulukan Ila rabbika atas kata perintah irghab (berharap) adalah
ungkapan yang komunikatif, singkat padat. Dan dengan adanya wawu sebagai
kata penyambung maka pengkhususan pada wa ila rabbika farghab sangat
berkaitan erat dengan ayat sebelumnya. Hanya saja mayoritas ulama’ jarang yang
memperhatikannya.
Jadi, dengan menghubungkan ayat dengan
sebelumnya, yang akan menjadikan susunan yang lebih sempurna dan lebih baik
dalam kesatuan konteks dalam suatu surah, Bintu Syati’ menyimpulkan tafsir ayat
ke 8 ini yaitu semua ketergantungan dan keinginan hanya diarahkan kepada Allah
SWT, yang telahmelapangkan hati Rasulullah dari segala bentuk kesusahan. Allah
SWT pula yang menepiskan perasaan-perasaan berdosa di hati Rasulullah dan Ia
mengabarkan akan adanya kemudahan yang tak ragu lagi sudah pasti adanya.
0 komentar:
Posting Komentar