Kamis, 28 November 2013



A. Biografi Bintu Asy Syathi’
Nama asli Bintu asy Syathi’ adalah Prof. Dr. ‘Aisyah Abdurrahman. Nama Bintu asy Syathi’ merupakan nama yang dia pakai saat menulis karena dilahirkan dan dibesarkan di tepian sungai Nil. Bintu asy Syathi’ memiliki arti anak perempuan pinggir (sungai). Dilahirkan di Dumyat sebelah barat delta sungai Nil ditengah keluarga muslim yang taat dan shaleh. Menyelesaikan seluruh jenjang pendidikannya di Universitas Fuad I Kairo sehingga memperoleh gelar guru besar studi tafsir dan sastra al-Qur’an. Tahun 1970 memperoleh gelar Profesor di Universitas Ain Syams Mesir, menjadi professor tamu pada Universitas Umm Durman Sudan, Universitas Qarawiyyin Maroko.
Karyanya-karyanya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu A’la al-Ma’ari, Al-Khansa, Biografi Ibunda Nabi saw, istri-istri, anak-anak perempuannya, serta cucu dan buyut perempuannya. Sedangkan karyanya dalam bidang tafsir adalah Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-KarimVolume I (1962) dan Volume kedua (1969). Namun seperti diakuinya hampir secara keseluruhan metode dalam menafsirkan al-Qur’an yang digunakan oleh Bintusy-Syathi’ adalah metode yang diperoleh dari guru besarnya dan kemudian belakangan menjadi suaminya Amin al-Khuli (wafat tahun 1966). Sedangkan ‘A’isyah Abdurrahman wafat Desember 1998.

B. Tafsir Surat Asy-Syarh
Surat asy Syarh adalah surat al Qur’an yang tergolong pada kelompok surat Makkiyyah yang diturunkan sesudah surat ad Dhuha. Sekelompok ulama menyatakan bahwa kedua surat ini merupakan satu surah karena munasabah dalam menghitung-hitung nikmat pada kedua surat tersebut. Namun, an Naisaburi menolak pendapat tersebut, karena menurutnya al Qur’an secara keseluruhan adalah kalam yang satu, namun terdapat perbedaan dalam kedua surat ini yang  mana pertanyaan pada surat ad Dhuha adalah bentuk orang ketiga (ghaib) sedangkan dalam surat asy syarh dalam bentuk orang pertama  (mutakallim). Berbeda dengan at Thabari, al Zamakhsyari dan al Qurthubi tidak begitu mempermasalahkannya.
Mengenai kelompok surah asy Syarh, Muhammad Abduh menyatakan bahwa surat ini termasuk makkiyyah menurut jumhur. Sedangkan al Biqa’i mengatakan surat ini madaniyyah.
Penafsiran asy syarh
Sebagian besar mufassir menyatakan bahwa asy Syarhadalah kelapangan, kelebaran dan keluasan. At  Thabari az Zamakhsyari dan Muhammad Abduh cenderung menafsirkan as Syarh sebagai pelapangan dada.Dalam hal ini an Naisaburi menyatakan pelapangan dada ini bersifat hakiki bukan majazi.
Penafsiran shadr
Kalimat Shadr  disini ditafsirkan sebagai dada yang merupakan anggota badan manusia oleh an Naisaburi, namun ar Raghib menyatakannnya sebagai kekuatan syahwat, hawa nafsu dan amarah.
Dalam al Qur’an ayat-ayat yang menyebutkan kalimat as Shadr tidak ada yang cenderung pada pembelahan dada secara fisik. Ayat-ayat tentang Shudur berada dalam konteks keimanan, petunjuk, nur Allah dan kesembuhan (kelegaan) atau kesempitan, kesesakan, kesulitan,kebinasaan, kesesatandan dendam.
Penafsiran Istifham (أ)
Kalimat istifham tersebut adalah menanyakan ketiadaan pelapangan dada dengan cara ingkar, sehingga memperkuat pernyataan “pelapangan” tersebut, demikian az Zamakhsyari menyatakan tafsirnya. Abu Hayyan membantah pendapat az Zamakhsyari tersebut, yang menyatakan bahwa apabila dalam ayat tersebut ada kalimat tanya, maka kalimat tanya tersebut harus dalam bentuk taqrir (penegasan). Sehingga kita akan mendapatkan terjemah sebagai berikut : “Bukankah kami telah melapangkan bagimu (Muhammad) dadamu”
Penafsiran nun mudhaharah
Nun mudhaharah pada kalimat ‘nasyrah’ yang seharusnya diredaksikan dengan alif yang merujuk kepada Allah, hal ini berfungsi untuk menyampaikan/menunjukkan pentingnya keadaan pelapangan dada, atau untuk menyampaikan pemberitahuan dengan perantar  malaikat Jibril dalam hal ini. Dengan kata lain bisa juga disebut sebagai dhamir li ta’dzhimin nafs, dhamir untuk mengagungkan Dzat Allah SWT.
Penafsiran laka
Penambahan kalimat laka pada ayat satu dan tiga, begitu juga dengan kalimat anka dalam ayat dua, merupakan tambahan yang melengkapi makna,  dimana fungsi penambahan ini adalah untuk menjelaskan sesuatu yang sebelumnya kabur. Takwil seperti ini bertujuan untuk merenungkan kalimat nasyrah dan rafa’na, yang kemudian diikuti oleh kalimat laka, dan  kalimat wadha’na yang diikuti oleh kalimat anka untuk menjelaskan kekaburan.
Sedangkan an-Naisaburi menafsirkan laka sebagai iqham (implikasi) terhadap apa yang dimiliki lafal ini dalam membicarakan al Qur’an al Kariim. Fungsi iqham sendiri adalah untuk  memberi pengertian umum yang disusul dengan rincian, serta mengemukakan hal yang khusus atau yang lebih penting.
Syeikh Muhammad Abduh menyatakan bahwa dikemukakannya jar majrur (anka-laka) dan didahulukannya atas maf’ul didalamketiga ayat tersebut adalah untuk menambah penekanan dan mempercepat penyampaian kabar gembira bukan merupakan muqhamah atau zaidah karena ini adalah keharusan bayan yang dituntut keadaan, seperti dalam surat Thaha(20):25-26 dan QS. Ali Imran(3):194.
Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu?

Penafsiran Wadh’
Lafadz Wadh’a mempunyai arti meletakkan, melemparkan, melontarkan, menjatuhkan dan dipakai untuk sesuatu hal yang memberatkan dan menyusahkan. Al-wadh’ digunakan untuk arti wiladah(melahirkan) dan mengandung. Al-zamakhsyari menjadikannya  sebagai bentuk majazi bagi wadh’ di dalam asas al-balaghah. Seperti dalam al-Qur’an surat  Ali Imran (3): 36, suratAl-Ahqaf (46): 15, surat At-Talaq (65): 4, dan surat At-Talaq (65) : 6.
Wadh’ juga disebutkan yang dirangkaikan dengan kata harb (peperangan), seperti dalam al Qur’an,  suratMuhammad(47): 4, surat An-Nisa’ (4): 102 dan surat Al-A’rof (7): 157.
Penafsiran Wizr
Dalam surat asy-Syarh, wadh’ juga dikaitkan dengan kata wizr, yang menjelaskan bahwa dalam kata wadh’ selalu tampak peringanan dari beban yang berat dan kandungan yang menyusahkan. Asal makna wizr adalah jabal(gunung), tempat berlindung, seperti firman Allah yang artinya : Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembal ( QS. Al-Qiyamah(75) : 11-12).
Wazir adalah muwazir (orang yang membantu), sebab dia memikul beban. Misalnya dalam surah Thaha : 29, al-Furqan : 35, tentang Harun sebagai pembanttu bagi Musa a.s.
Sedang pengertian maknawi dari wizr adalah dosa, jamaknya auzar. Misalnya dalam surat Al-An’am : 31dan 164, Fathir : 18, Az-Zumar : 7 dan Thaha : 100.
Wadha’a li al-wizr dalam ayat Asy-Syarh memperkuat pengertiannya sebagai beban yang berat, sebagaimanan ditegaskan oleh ayayt sesudahnya: Alladzi Anqadha Zhahrak.
Penafsiran Anqadha
            Inqadh dalam kebahasaan dan Qurani berarti lepas, cerai berai, terkoyak-koyakdi bawah tekanan yang berat dan penderitaan.
            Dalam hal ini Abu Hayyan menyebutkan pendapat ahli bahasa : Anqadha al-himlu zhahran naqah, digunakan apabila mendengar ringkikan unta karena beban yang berat.
            Syaikh Muhammad Abduh berpendapat, Naqidh al-zhahr adalah suara yang terjadi karena beratnya beban pada panggung. Pendapat ini berdekatan dengan pendekatan Al-Zamakhsari yang mengatakan, Ia adalah suara berderak dan pecah karena beratnya beban.
            Al-raghib menolak jika yang berderak itu suara, menurunya, pada hakikatnya yang berderak itu bukan suara, tetapi sesuatu yang menimbulkan suara, yakni yang berada di bawah tekanan dan penderitaan.
            Bintu Syathi’ cenderung mengartkan inqadh dengan intiqadh (pelepasan) dari beban yang menimpa punggung. Maka ditetapkanlah artinya dengan beban berat yang menindih punggung. Dinukil dari Qatadah bahwa, Nabi Muhammad mempunyai dosa-dosa yang membebani beliau. Aku mendengar Adh-Dhahhak menjelaskan tentang ayat  : Wa wadha’na anka wizrak, yang dimaksudkan adalah kemusyrikan yang ada pada beliau.
            Syaikh Muhammad Abduh menegaskan bahwa kalimat tersebut hanyalah metafora. Sebab jika yang dimaksud dengan beban di situ adalah memikirkan urusan kaum yang beliau pikul dan keprihatinan beliau sebelum berlangsungnya wahyu yang memberi petunjuk, maka yang demikian bukanlah beban fisik yang membebani punggung. Akan tetapi ia adalah kesedihan jiwa jiwa yang diungkapkan dengan beban yang memberati punggung.
Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.
Raf’ (رفع) menurut bahasa adalah meninggikan, yang mengandung pengertian fisik dan indrawi, seperti bangunan dan  pondasi. Contohnya ada dalam QS. Al Baqarah(2):127. Kalimat ini juga bisa bersifat maknawi atau majazi, seperti tingginya derajat.[QS. An Najm(53):32.
At Thabari, Ibnu abu Hayyan dan az Zamakhsyari menafsirkannya bahwa Rasul disebutkan bersamaan dengan penyebutan nama Allah SWT seperti dalam Syahadat, Adzan, qomat, tasyahud dan khotbah..
Syeikh Muhammad Abduh menafsirkan sebagai berikut: Allah telah menunjuki beliau untuk menyelamatkan banyak umat dari perbudakan wahm dan kerusakan pikiran, serta mengembalikan mereka kepadafitrah  yang selamat.
Cukup bagi kita untuk memahami ayat keempat ini, mengikuti petunjuk yang kitta lihatdari seringnya perangkaian zikr dalam al-Qur’an dengan Allah yang Maha Agung dan digunakan sebagai nama al-Qur’an al- karim.

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu da kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Penjelasan ayat :
Huruf fa’ pada ayat ke lima dari surat Al-Insyiraah memiliki makna sebab-akibat  yaitu menetapkan apa yang akan terjadi dan dari hubungan sebab-akibat itu dikukuhkan dengan inna dan diperkuat lagi dengan pengulangan kalimat itu sebanyak dua kali.
Hikmah dari pengulangan ayat tersebut ialah untuk menumbuhkan ketenteraman jiwa nabi Muhammmad saw menyangkut masa datang dan misi beliau.
Penggunaan ma’a dalam kedua ayat tersebut terdapat beberapa pendapat dari para ulama’. Diantara para mufassir berpendapat bahwa penggunaan ma’a ( arti sesungguhnya :bersama,beserta ) dalam kedua ayat tersebut sebagai ganti dari ba’da (sesudah,setelah) yang menunjukkan perbedaan waktu. Sedangkan Al-Zamakhsyari mengatakan bahwa kata ma’a adalah untuk shuhbah ( kebersamaan dalam berkawan ). Dan maknanya adalah kebersamaan menyertai kesulitan. Jadi,rangkaian ini memiliki fungsi sebagai hiburan dan menguatkan hati.
Selain tertarik terhadap penggunaan huruf fa’ dan ma’a , para ulama’ tafsir juga tertarik terhadap dengan pengertian “kesulitan dan kemudahan” didalam kedua ayat tersebut. Mereka meriwayatkan sebuah hadits Nabi saw yang artinya “sebuah kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan”.
Al farra’ dan Az Zujaj menafsirkan al-‘usr (kesulitan) disebutkan dengan alif dan lam , sedangkan disitu tidak terdapat perjanjian terlebih dahulu,sehingga berpalinglah ia kepada hakikat. Maka yang dimaksudkan dengan al-‘usr dikedua tempat tersebut adalah barang yang satu. Adapun yusr (kemudahan) disebutkan secara tunggal,sehingga yang pertama bukanlah yang kedua. Al Naisaburi berpendapat bahwa apabila yang dimaksudkan dengan al-‘usr adalah jenis,bukan al-‘ahd (perjanjian) maka al’usr didalam kedua bentuk itu sama. Sedangkan al yusr disamarkan jika dibawa kepada pembicaraan kedua sebagai pengulangan.
Pendapat yang kuat bahwa al dalam al-‘usr adalah untuk ‘ahd (perjanjian),bukan sekedar penghamburan ungkapan. Sedangkan penunggalan lafal yusr (kemudahan) agar didalamnya terdapat medan konsepsi dan kebebasan sehingga ada gambaran yang luas.
Dalam konteks ayat ini,lafal ‘usr memiliki arti dalam kesempitan yang yang sangat. Hal itu telah banyak dicontohkan dan dijelaskan dalam al-Qur’an,semisal :
a)      Diartikan dengan penderitaan orang-orang kafir pada hari pembalasan,contoh:
# apabila ditiup sangkakala,maka waktu itu adalah waktu(datangnya) hari yang sulit.[(QS.Al-muddatstsir(74):89) ]
# dan adalah (hari itu) satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir . [(QS.Al-Furqan(25):26)]
b)      Diartikan dengan didalam kesulitan orang yang berhutang ketika ditagih hutangnya sedangkan dia tidak mempunyai harta. Contoh:
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka belilah tangguh sampai dia berkelapangan [(QS.Al-Baqarah(2):280)].
Para ahli bahasa dan mufassir menafsirkan al-‘usr sebagai lawan dari al-yusr, al mu’assaraah sebagai lawan al muyassarah, al ma’sur sebagai lawan al maisur , dan al ‘usra sebagai lawan al yusra.
Kesimpulan : alusr memiliki makna kesengsaraan, kesempitan dan kesulitan.AlYusrmemiliki makna kesenangan,kemudahan dan kelapangan secara mutlak.
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.
Kata Idza adalah zharaf (keterangan waktu) untuk masa yang akan datang. Dan fa’ disini (dalam ungkapan faidza ataupun fanshab) selain mengandung aspek sebab akibat , juga mengandung ketertiban yang dating berurutan.
            Kata Al-faragh dalam ayat ke 7 ini secara bahasa artinya adalah “kosong” dan ia bersifat sensual dan materi, seperti faragha al ina’ artinya ‘wadah itu kosong setelah penuh’. Selain itu al faragh juga berkaitan dengan sebab yang mendahuluinya di ayat sebelumnya seperti ‘kelapangan dada’, ‘pelepasan beban’ dan ‘pengangkatan sebutan’. 
Sedangkan kata Al-Nashb menunjukkan makna kesungguhan atau kerja keras dan menegakkan atau menampakkan serta kelelahan. Namun yang menjadi inti makna disini adalah kelelahan dan menegakkan. Pada penafsiran kata ini beberapa mufassir memiliki pandangan yang berbeda-beda seperti Al-Raghib yang lebih cenderung untuk menafsirkan al-nashb berasal dari kata al-nashib yakni bagian yang ditentukan dan nyata. Sedangkan Al-Naisaburi dan Syaikh Muhammad ‘Abduh menafsirkan kata tersebut dengan kelelahan. Dalam hal ini kita (Bintu Syathi’) tidak menyalahkan baik makna kesungguhan maupun kelelahan.
Sudah barang tentu kita harus menghubungkan fa idza faraghta fanshab dengan konteks ayat-ayat sebelumnya, karena fa telah mempertautkan ayat tersebut dengan yang sebelumnya. Ayat tersebut didahului pengukuhan yang meyakinkan, bahwa kesulitan pasti disertai dengan kemudahan, dan Allah pasti memenuhi janji-Nya. Demikian ini, akan disudahi dengan apa yang menyudahinya berupa kekosongan hati dari kebingunga, kesempitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Semua itu karena Allah telah menurunkan karunia kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW), berupa kelapangan dada dan keringanan beban yang memberati punggungnya, dan meninggikan baginya sebutan namanya. Dan oleh karena itu, hendaklah Rasul beribadah kepada Tuhan, sujud, dan bersyukur kepada-Nya, karena telah melimpahkan banyak karunia kepadanya, termasuk ‘kemudahan’, ketenangan dan kenyamanan di hati.
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Kata al-Raghbu adalah kecenderungan dan keinginan. Misalnya, raghibta fisyai’ engkau menginginkan sesuatu’. Dengan mendahulukan Ila rabbika atas kata perintah irghab (berharap) adalah ungkapan yang komunikatif, singkat padat. Dan dengan adanya wawu sebagai kata penyambung maka pengkhususan pada wa ila rabbika farghab sangat berkaitan erat dengan ayat sebelumnya. Hanya saja mayoritas ulama’ jarang yang memperhatikannya.

Jadi, dengan menghubungkan ayat dengan sebelumnya, yang akan menjadikan susunan yang lebih sempurna dan lebih baik dalam kesatuan konteks dalam suatu surah, Bintu Syati’ menyimpulkan tafsir ayat ke 8 ini yaitu semua ketergantungan dan keinginan hanya diarahkan kepada Allah SWT, yang telahmelapangkan hati Rasulullah dari segala bentuk kesusahan. Allah SWT pula yang menepiskan perasaan-perasaan berdosa di hati Rasulullah dan Ia mengabarkan akan adanya kemudahan yang tak ragu lagi sudah pasti adanya.

0 komentar:

Posting Komentar